Pemulung itu bernama Mbah Minah
Oleh : Anissia Lailatul Fitri
Namanya
Mbah Aminah. Beliau adalah seorang pemulung yang tinggal bersama seorang
anaknya dan ketiga cucunya. Setiap hari, ketika aku berangkat kuliah, sering
kutemui beliau di pinggir jalan memungut sampah. Sesekali aku berhenti untuk
menyisipkan di tangannya 5000 atau 10000 Rupiah. Aku ingat, beliau dahulu
pernah berjualan tahu keliling, dengan berjalan kaki. Rumahnya memang di
kampung depan “perumahan ndeso” ku.
Aku ingat, dahulu, ketika SMP, aku membuka toko kecil dirumah, karena
sekolahku dekat dengan pasar. Beliau pernah mengambil gelas plastik di depan
rumahku. Gelas seperti itu kudapatkan dari hadiah karena membeli barang yang
satu renteng. Dalam pikiranku dulu,
“Kasihan sekali nenek itu, hanya gelas plastik saja kok diambil diam-diam”,
kataku dalam hati. Namun, esoknya, nenek itu kulihat tak muncul lagi.
Sebenarnya
aku sudha lama tidak menyisipkan uang kepada nenek itu ketika dijalan. Hal itu
karena kejadian lucu dan juga penyesalan atas apa yang kulakukan. Ketika itu,
aku melihat beliau membawa sekarung besar botol-botol bekas kecap, sirup, dan
botol pecah-belah lainnya. Bisa dibayangkan, betapa beratnya apabila jalannya
naik. Aku pun kemudian menawarkan untuk membantu mengangkatnya. Beliau terlihat
sangat senang. “Iyo, dekek di jembatan ae
yo nduk…(Iya, taruh di dekat jembatan saja ya.)”, pesan Mbah itu. Namun,
ternyata karung itu akan dibawa keatas (ke depan perumahan). Aku pun
menyanggupi. Karung itu pun diangkat
diatas sepedaku, kemudian aku berjalan ke arah depan perumahan. Masyaallah,
berat sekali ternyata. Nah, jalan untuk ke depan perumahan adalah jalan yang
alurnya berliku, dari turun, lurus, kemudian naik. ketika jalan turun,
Alhamdulillah, tidak apa-apa. Namun ketika hendak dari jalan turun ke jalan
yang lurus, mungkin karena tekanan yang terlalu curam, akhirnya karung itupun
jatuh dan kemudian menggelundung dengan sendirinya. Aku terpelongo, speechless.
Botol-botol di karung itu asti sudah pecah semua. “Ya Allah, ini seperti, di sinetron-sinetron. Oh men,,, kenapa hal
seperti ini harus terjadi, padahal, kurang dikit sekali”. Aku ingat sekali
akan peristiwa itu. Aku pun mengambil karung itu. Dan meletakkan di jembatan.
Kemudian
aku pergi menemui mbah itu, beliau masih mencari sampah-sampah di lapangan
Masjid Ahmad Dahlan. Aku pun mengingat-ingat uangku kala itu. Ternyata, aku
hanya mempunyai uang 20.000 saja. Bismillah, semoga cukup untuk mengganti isi
karung yang telah hancur itu. Aku pun menghampiri mbah itu, dan meminta maaf
serta memberikan uang 20.000 tadi. Dan sejak itu, aku tidak pernah berani
menghampiri Mbah Minah.
Hingga
tiba saatnya, aku, sebagai kader eL-Zawa diharuskan mencari maula dalam program
“Amal manula mulia eL-ZaWa”. Aku pun
kemudian menemui Mbah Minah, dan sowan ke rumahnya. Ternyata, beliau tinggal di
rumah tipe <tipe 21. Aku memasuki rumah itu, rumah itu, tidak ada kursi atau
benda apapun didalamnya, hanya ada banyak tumpukan baju, dan mainan yang
berserakan, milik ke-3 cucunya, yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ada 1
TV pula diidalamnya. Saat itu, aku membutuhkan KK, KTP, dan Surat Keterangan
Tidak Mampu. Ketika aku memintanya, ternyata, mbah itu seorang yang mencarinya.
Beliau mencari KTP, namun tak kunjung ketemu. Kemudian meminta KK kepada
anaknya, namun anaknya enggan memberikan. Beliau pun sedikit memaksa kepada
anaknya. Alhamdulillah, anaknya mau meminjamkan fotocopi KK keluarga itu. Untuk
Surat Keterangan Tidak Mampu, anak Mbah
Minah pun menyuruh Mbah Minah sendiri yang ke rumah Pak RT. Aku melongo, betapa
acuh tak acuhnya anak Mbah Minah. Aku dan Mbah Minah pun pergi ke rumah Pak RT.
Namun, ternyata Pak RT sedang keluar.
Esoknya,
aku ke rumah Mbah Minah lagi, sekedar mengembalikan KK dan memfoto beliau.
Alhamdulillah, rumah sepi, sehingga bisa leluasa menginterview Mbah Minah.
Nenek yang pekerjaannya ini memulung untuk menghidupi dirinya sendiri, dan
terkadang mencukupi kebutuhan ke-3 cucuna juga. Beliau memasak sendiri dan
mengurus dirinya sendiri di rumah peninggalan Alm. suaminya, meskipun sebenarnya
tinggal dengan anak kandung semata wayannya. Nenek yang telah berusia 75 tahun
ini, tetap eksis menabung di PKK, karena
trauma dengan hilangnya uang modal berjualan tahu yang disimpan di kamarnya.
Mbah Minah, tetap sering mengikuti pengajian di Pondok yang ada di desanya.
Diusia yang sudah tak muda, Mbah Minah juga masih tetap bisa lancar membaca
Al-qur’an. Terakhir dalam wawancara, Mbah Minah meminta untuk dido’akan agar
sehat wal’afiat kepadaku. Subhanallah…
Bismillah,
semoga kita bisa mengambil hikmah dari kehidupan Mbah Minah dan lebih
memperhatikan saudara muslim terdekat kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk
mereka, sebagai seorang muslim/muslimah yang telah mengenyam pendidikan dan
pengetahuan detik ini. Ingatlah Rasulullah, betapa Beliau sangat memperhatkan
dan mencintai sahabat-sahabatnya, tetangga-tetangganya, serta semua
umatnya.
0 komentar:
Posting Komentar